Computer Application, Maintenance and Supplies

Thursday, September 18, 2008

Maa adroka maa Lailatul Qadr?

Surah al-Qadr yang diturunkan di Mekkah setelah hijrahnya Nabi ke Madinah itu hanya berjumlah lima ayat, isinya berkisar tentang suatu malam yang dijanjikan yang didokumentasikan alam dengan gempita. Suatu malam komunikasi antara bumi dengan mala'ul a'la. Malam dimulai turunnya al-Quran pada kalbu Muhammad SAW. Malam agung yang tak ada duanya di persada alam, keagungannya, tanda-tandanya, dan efeknya bagi seluruh kehidupan manusia. Keagungan yang tak bisa dideteksi nalar: "Sesungguhnya Kami turunkan ia di Malam Qadr. Tahukah kamu apa itu Malam Qadr? Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan" (Al-Qadr: 1-3)

TEKS Quran yang merekam peristiwa besar itu selamanya akan terus menerangi. Bahkan akan melimpahkan cahaya petunjuk yang terus dan terus mengalir. Cahaya Tuhan yang benderang itu terdapat pada firman-Nya: Kami menurunkannya pada malam Qadr. Cahaya fajar yang disodorkan nash Quran itu beriringan dengan nur wahyu ilahi, cahaya malaikat, ruh kedamaian yang bersemayam dan berjalan pada semesta. Kedamaian hingga terbitnya cahaya fajar.


Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kamilah yang menjadi pemberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Al-Dukhan: 3-6)


Malam yang diselimuti keberkahan itu hanya terdapat pada salah satu malam pada bulan Ramadhan. Betapa agungnya Ramadhan sehingga tak ada selainnya yang mendapatkan malam mulia yang diagungkan semua makhluk yang berada di alam fana:

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [al-Baqarah:185]

Yakni permulaan turunnya al-Quran pada jiwa Muhammad SAW agar disampaikan kepada sekalian manusia. Dalam riwayat Ibnu Ishak, bahwa wahyu pertama pada awal surat al-Alaq juga pada bulan Ramadhan. Rasulullah SAW, saat itu, sedang bertahannus di gua Hira.

Banyak sekali Hadis yang menyinggung perihal Lailatul Qadr, terutama kapan terjadinya peristiwa yang didambakan semua umat Islam itu. Dalam satu riwayat, Lailatul Qadr terjadi pada tanggal 27 Ramadhan. Sebagian lain, pada malam ke-21. Sementara yang lain mengatakan bahwa Lailatul Qadr adalah pada 10 terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan menurut ulama lainnya menegaskan, turunnya Lailatul Qadar pada keseluruhan bulan Ramadhan, malam hari. Yang terakhir ini adalah menurut mayoritas ulama. Bahkan, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadr turun pada malam-malam terakhir bulan Ramadhan.

***

Apa sesungguhnya Lailatul Qadr itu? Kita sendiri akan terus bertanya apa arti Lailatul Qadr. Tanpa sadar kita mengulangi kalamullah: wa maa adroka maa lailatul qadr. Sesuai dengan derivasi 'qadr' yang mengandung banyak arti, secara etimologis qadr diartikan taqdir (kepastian). Adapula yang mengartikan tadbir (perenungan). Bisa juga berarti qimmah (supremasi) atau maqam (posisi). Kedua makna terakhir ini yang paling selaras dengan dahsyatnya malam Lailatul Qadr, peristiwa turunnya al-Quran, wahyu dan risalah. Tak ada satupun yang lebih besar dan lebih hebat dari malam itu. Tak ada sesuatupun yang bisa menunjukkan keagungan Tuhan pada diri seorang hamba. Sesuai dengan ayat di atas, lebih baik dari seribu malam. Seribu malam, tidak selamanya menunjukkan tahdîd (limitasi bilangan atau waktu), melainkan untuk menunjukkan taktsîr (variatif, plural). Itu berarti Lailatul Qadr adalah “lebih baik dari beribu-ribu bulan” pada kehidupan umat manusia. Tentu terlalu murah kita mengartikan Lailatul Qadr dengan makna lahiri yang amat kecil di mata Allah SWT. Terlalu gegabah kita memberi arti yang tak pantas bagi kesyahduan Lailatul Qadr yang lebih mahal dari seribu bulan itu. Apakah tidak lebih baik kita pusatkan perhatian kita tidak pada 'cahaya dari langit' yang kita bayangkan sebagai Lailatul Qadr. Bagaimana kalau kita sendiri bertanya bagaimana penerimaan bathin kita untuk menerima Lailatul Qadr, Kesiapan mental, kejernihan hati, ketulusan jiwa, keadilan pikiran, kepenuhan iman kita, serta totalitas iman dan kepasrahan jiwa kita. Bertapalah dengan puasa, bersunyilah dengan i'tikaf, berkontemplasilah bersama penciptaan-Nya.

Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR. Bukhari-Muslim)

***

Namun betapa sombongnya manusia. Karena kedunguan dan kedangkalan nalarnya untuk mengetahui hakekat Lailatul Qadr, lupa akan hakekat malam teristimewa itu, lalai akan keagungannya. Mereka dengan tenangnya berseliweran di jalan-jalan, berdansa di klub-klub, bercanda dan bernyanyi serta bercengkerama tak ada habisnya tentang apa saja yang tak ada manfaatnya di dunia dan di akhirat.

Maka di saat ia lalai dengan semuanya itu, maka dengan sendirinya ia melupakan kebahagiaan dan mutiara Allah SWT yang paling indah, serta kehilangan kebahagiaan dan kedamaian hakiki --ketenangan hati, sakinah dalam di rumah tangga, dan ketentraman sosial-- yang dianugerahkan Islam. Mereka tak akan memperoleh pengganti dari pintu-pintu bendawi yang menganga, peradaban yang kering akan makna spiritualisme…. semua luluh lantak kendati penciptaan produk-produk mercusuar berada pada tarap puncak kejayaan. Semua musnah meskipun dibanjiri dengan beraneka ragam fasilitas hidup yang menggiurkan.

Padamlah cahaya keindahan yang terpancar dalam jiwanya. Musnah kedamaian yang berada dalam jiwa dan hatinya. Kita semua --orang-orang beriman-- diperintahkan untuk tidak 'menganggap enteng' malam penuh berkah Lailatul Qadr. Rasulullah SAW sebagai suri tauladan yang menghidupkan malam dengan kepasrahan jiwa. Menghiasi malam dengan zikir dan dan doa yang teduh untuk menghidupkan kembali nostalgia yang indah itu agar mampu menggapainya untuk selamanya, mencapai luksuri dunia. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Mulia. Maka ampunilah kami, wahai Yang Mulia.

0 komentar :

Post a Comment

Your comments are inputs for our